Tri Hita Karana dalam Budaya Arsitektur di Bali
Konsep Tri Hita Karana. https://www.balispiritfestival.com/ |
Perletakan bangunan pada arsitektur tradisional Bali sangat unik, bangunan-bangunan pada suatu pekarangan diletakan sesuai dengan fungsi dan filosofinya masing-masing. Perletakan masa bangunan tersebut didasarkan pada ajaran-ajaran Tri Hita Karana yang selanjutnya diturunkan melalui Tri Angga dan Tri Mandala.
Konsep-konsep dalam pembuatan arsitektur tradisional bali merupakan warisan leluhur bagi masyarakat Bali. Pada postingan sebelumnya yang berjudul "Pengaruh Ilmu Arsitektur Zaman Dahulu Terhadap Pembangunan Arsitektur Bali Masa Kini", dijelaskan bahwa keberadaan "budaya bangunan" yang berkembang pesat di Bali saat ini tidak akan bisa dipisahkan dengan peran para arsitek besar di masa lalu.
Patung Kebo Iwa di Blahbatuh, Gianyar |
Sebut saja Kebo Iwa yang hidup pada masa Bali Aga, Mpu Kuturan yang menjadi pendamping Anak Wungsu pada abad ke-11 Masehi, serta Dhangyang Nirartha yang datang ke Bali dan menjadi purohita di kerajaan Gelgel. Mereka semua adalah tokoh-tokoh yang banyak mewarisi ajaran penting bagi masyarakat Bali, khususnya dalam bidang arsitektur, adat, agama, dan tipologi pembangunan.
Patung Dhangyang Nirartha |
Kemudian, hubungan-hubungan antara teori Kebo Iwa, Mpu Kuturan, dan Dhangyang Nirartha lalu dijadikan pedoman bagi para undagi (arsitek tradisional Bali) untuk mempelajari proses pembuatan bangunan, yang meliputi pengucapan mantra/doa, persiapan pekerjaan proyek, dan proses pelaksanaan.
Tri Angga dan Tri Mandala
Dalam ajaran arsitektur tradisional Bali, tata nilai ruang pada bangunan selalu memparhatikan keharmonisan antara makhluk hidup dengan alam. Maka dari itu, pembuatan arsitektur tradisional Bali pasti akan berpedoman pada konsep Tri Hita Karana, yang kemudian diturunkan pada konsep Tri Angga dan Tri Mandala.
Tri Angga dan Tri Mandala dapat dikatakan sebagai pedoman dasar dalam pembuatan arsitektur tradisional Bali. Melalui penerapan dan kaitannya dengan Tri Hita Karana, karya arsitektur yang dibangun akan terpenuhi fungsinya secara optimal, sehingga dapat menciptakan kesejahteraan bagi penghuninya baik secara jasmani maupun rohani
Tri Angga
Konsep Tri Angga |
Tri Angga adalah ungkapan tata nilai dari ruang terbesar jagat raya yang disusutkan menjadi elemen-elemen terkecil pada diri manusia dan wujud arsitektur. Tri Angga terdiri dari tiga bagian, yaitu :
- Nista Angga (alam terbawah/kaki)
- Madya Angga (alam tengah/badan)
- Utama Angga (alam atas/kepala)
Konsep Tri Angga dapat dijelaskan berdasarkan analogi alam besar/alam semesta (bhuwana agung) dan alam kecil/manusia (bhuwana alit).
Tri Angga didalam Tri Loka |
Pada alam semesta (bhuwana agung) susunan tersebut tampak selaku Bhur, Bhuwah, dan Swah (tiga dunia/Tri Loka).
- Bhur sebagai alam bawah adalah alam hewan atau bhuta memiliki nilai Nista Angga.
- Bwah adalah alam manusia dengan nilai Madya Angga.
- Swah adalah alam para dewa yang memiliki nilai Utama Angga.
Begitu pula pada alam kecil/manusia (bhuwana alit), ungkapan tata nilai ini terlihat pada tubuh manusia, yaitu :
- Kaki sebagai Nista Angga.
- Badan sebagai Madya Angga.
- Kepala sebagai Utama Angga.
Pada arsitektur, konsep Tri Angga dianalogikan sebagai tubuh manusia, yang dijelaskan menjadi, bebataran sebagai kaki bangunan adalah Nista Angga, pengawak atau badan bangunan adalah Madya Angga, dan atap sebagai kepala bangunan adalah Utama Angga.
Baca Juga : Arsitektur Pada Masa Kebudayaan Hindu
Selain bidang vertikal yang di analogikan pada tubuh manusia dan arsitektur, konsep Tri Angga juga digunakan pada bidang horizontal. Konsep-konsep Tri Angga dalam bidang horizontal digunakan dalam penyusunan areal pekarangan rumah dan areal desa.
Pada bidang horizontal, pola tata letak nista-madya-utama berpedoman pada orientasi kosmologis dan nilai ritual. Dalam hal ini menempatkan arah antara Utara-Timur sebagai areal Utama, dan arah antara Selatan-Barat sebagai areal Nista. Sementara itu, area Madya terletak di tengah-tengah antara Utama dan Nista.
Tri Mandala
Konsep Tri Mandala |
Tri Mandala adalah panduan dan konsep dasar dalam pembagian kawasan Pura menjadi tiga bagian sesuai dengan fungsinya. Konsep Tri Mandala mengoptimalkan fungsi tempat suci menjadi tiga bagian, demi tercapainya kesejahteraan rohani bagi umat manusia.
Hampir mirip seperti Tri Angga, tiga bagian Tri Mandala adalah :
- Utama Mandala (area utama)
- Madya Mandala (area tengah)
- Nista Mandala (area luar)
Tri Mandala dalam penerapannya memiliki hubungan erat dengan ajaran-ajaran dalam Tri Hita Karana. Tri Hita Karana mengajarkan kita tentang tiga hal atau sebab yang mengakibatkan manusia menjadi lebih bahagia, yang terdiri dari :
- Parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan)
- Pawongan (hubungan manusia dengan sesama manusia)
- Palemahan (hubungan manusia dengan lingkungan)
Area Utama Mandala sebagai tempat manusia melakukan persembahyangan mewakili Parahyangan dalam ajaran Tri Hita Karana. Area Madya Mandala sebagai tempat aktivitas antar sesama manusia mewakili Pawongan, dan Nista Mandala sebagai area paling luar Pura mewakili Palemahan.
Baca Juga : Candi-Candi Pada Zaman Kerajaan di Jawa Tengah
Konsep Menuju Kehidupan yang Selaras dan Serasi
Manusia terlahir dengan tiga potensi dalam diri sebagai kodratnya. Tiga potensi itu adalah cipta, rasa, dan karsa.
- Cipta melambangkan kemampuan untuk berpikir dan melakukan rencana.
- Rasa melambangkan perasaan batin dan keyakinan.
- Karsa melambangkankeinginan atau kemauan yang kuat
Ketiga potensi ini bersifat dinamis, artinya bisa menebal atau menipis, membesar atau mengecil, ataukah menjadi baik atau menjadi buruk. Semua hal itu ditentukan oleh bagaimana manusia itu mengendalikan cipta, rasa, dan karsa dalam dirinya.
Karena manusia memiliki cipta, rasa dan karsa dalam diri, maka manusia tidaklah puas hanya menempati alam (bhuwana agung) sebagai "wadah" dalam keadaan alamiah. Maka dari itul manusia membuat rumah, desa, bahkan suatu negara sebagai wadah aktivitas sosialnya.
Namun sebagai bagian terkecil dari alam, manusia adalah "isi" yang selalu memerlukan kehidupan yang selaras dan harmonis. Keserasian antara isi dan wadah (bhuwana alit dan bhuwana agung) tertuang dalam konsep Tri Hita Karana, dimana manusia merupakan bagian dari Tuhan.
Karena itulah tata letak dalam arsitektur tradisional Bali disesuaikan dengan konsep Tri Hita Karana, agar dapat memberikan keharmonisan dan keselarasan dalam kehidupan. Konsep inilah yang mengilhami Tri Angga, dan Tri Mandala sebagai dasar tatanan suatu palemahan atau bangunan umat Hindu di Bali.
Kesimpulan
Budaya bangunan yang digunakan di Bali saat ini merupakan warisan dari para arsitek besar di masa lampau. Ajaran-ajaran yang diwariskan oleh arsitek di masa lalu menjadi pedoman bagi arsitek Bali masa kini.
Karena pengaruh tiga potensi cipta, rasa, dan karsa dalam diri, manusia merasa tidak cukup hanya menempati alam dalam keadaan alamiah saja. Maka dari itu manusia mulai menciptakan arsitektur.
Untuk mencapai kesejahteraan bagi penghuninya, maka dalam pembuatan arsitektur Bali digunakan konsep Tri Hita Karana, yang kemudian diselaraskan dengan ajaran Tri Angga dan Tri Mandala.
Tiga konsep itu merupakan syarat mutlak, karena merupakan bagian tak terpisahkan di dalam kehidupan ini. Keberadaannya penting bagi masyarakat dan wujud arsitektur tradisional Bali, karena ketiga konsep itu adalah jiwa kehidupan menuju tata peradaban yang harmonis.
Comments
Post a Comment
Mari bersama-sama membangun blog ini menjadi lebih baik lagi dengan meninggalkan jejak berupa komentar.