Kisah Mayadenawa dan Etimologi Nama-Nama Daerah di Tampaksiring
Lukisan Pura Tirta Empul dari Fine Art America |
Kembali lagi di Blog Suryakanta. Pada tulisan kali ini Blog Suryakanta akan membahas mengenai salah satu legenda yang populer bagi masyarakat Bali, yakni Legenda Mayadenawa.
Postingan ini sebenarnya berkaitan dengan postingan sebelumnya, yang membahas "Candi-Candi Pada Zaman Kerajaan di Jawa Tengah". Pada postingan tersebut saya sedikit menyinggung mengenai peninggalan sejarah pura Tirtha Empul, dimana berdirinya pura Tirtha Empul ini sangat unik, karena memiliki latar belakang cerita dibalik keberadaannya yang berkaitan pula dengan kisah Mayadenawa ini.
Dan juga melalui postingan ini, saya ingin membagikan kepada para pembaca bagaimana etimologi nama-nama daerah di Tampaksiring, yang memiliki keterkaitan dengan kisah Mayadenawa. Asal-usul nama wilayah Tampaksiring beserta desa-desa di dalamnya sangat filosofis, dan semuanya didasarkan pada peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang cerita.
Baiklah, sekian dahulu kata-kata pembukanya. Selanjutnya mari kita menuju daerah Balingkang, tepatnya di sebelah Utara Danau Batur.........
Kisah Mayadenawa
Di wilayah Balingkang, sebelah Utara danau Batur, bertahtalah seorang raja keturunan raksasa bernama Mayadenawa. Menurut beberapa sumber dan cerita turun-temurun, Mayadenawa adalah raja yang memerintah di kerajaan Bedahulu. Pemerintahan kerajaan Bedahulu terletak di sekitar wilayah Pejeng, kabupaten Gianyar, Bali.
Mayadenawa adalah putra dari Raja Jayapangus dan Dewi Danu. Selama pemerintahannya, Mayadenwa didampingi oleh seorang patih bernama Kala Wong. Mayadenawa dikisahkan sebagai seorang raja yang sakti, dengan kesaktiannya, ia mampu berubah wujud menjadi apapun yang ia inginkan. Mayadenawa lalu berhasil menguasai beberapa wilayah di Nusantara, seperti daerah Makasar, Bugis, Lombok, Sumbawa, dan Blambangan.
Kesaktian yang ia miliki menjadikannya seorang yang sombong. Ia merasa dirinyalah yang paling berkuasa, kuat, dan berpengaruh. Karena hal itu, ia pun berpendapat bahwa hanya dirinyalah yang patut untuk disembah. Tak ada gunanya lagi menyembah Tuhan, dan tak ada gunanya lagi menghanturkan sajian kepada Tuhan. Untuk membuktikan kekuasaannya, Mayadenawa menghancurkan Pura dan memaksa rakyat untuk menyembah dirinya. Ia juga memerintahkan rakyat untuk mempersembahkan sesajian. Karena hal itu, rakyat menjadi menderita. Berbagai kemalangan dan musibahpun terjadi, mulai dari gagal panen, kekurangan pangan, dan wabah penyakit yang kian bermunculan.
Tapa Mpu Kulputih dan Bantuan dari Khayangan
Diceritakan pada masa pemerintahan Mayadenawa, hiduplah seorang pendeta bernama Mpu Kulputih. Menurut sejarahharirayahindu.blogspot.com, Mpu Kulputih/Sangkulputih adalah seorang sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura lainnya yang telah didirikan oleh Dhangyang Markendya. Mpu Kulputih sangat sedih melihat penderitaan rakyat, ia sadar bahwa situasi mengerikan ini harus segera diatasi. Mpu Kulputih kemudian menuju Pura Besakih dan melakukan Yoga Semadhi. Melalui semadhi-nya, Mpu Kulputih ingin meminta petunjuk kepada Yang Maha Esa, mengenai cara untuk menumpas keserakahan Mayadenawa.
Ilustrasi Yoga Semadhi |
Melalui semedinya yang khusyuk, ia lalu mendapat petunjuk dari Dewa Siwa agar meminta pertolongan ke Jambudwipa (India). Setelah itu, pasukan khayangan pun turun ke dunia untuk menumpas kejahatan Mayadenawa. Pasukan tersebut sangat tangguh dan membawa persenjataan lengkap. Menurut kebudayaan.kemdikbud.go.id, pasukan sayap kanan dipimpin oleh Citrasena dan Citrangada. Pasukan sayap kiri dipimpin oleh Sangjayakanta. Sedangkan pasukan induk dipimpin langsung oleh Bhatara Indra. Pasukan cadangan dipimpin oleh Gandarwa untuk menyelidiki keadaan kerajaan Mayadenawa dengan mengirim Bhagawan Narada.
Di sisi lain, Mayadenawa ternyata sudah mengetahui kedatangan pasukan ini melalui mata-mata. Ia kemudian menyiapkan pasukan yang tak kalah dahsyat. Ketika kedua kubu telah berhadapan, peperangan pun langsung dimulai. Perang dahsyat akhirnya terjadi antara pasukan Khayangan dan pasukan Mayadenawa.
Dimulainya Peperangan dan Etimologi Nama-Nama Daerah di Tampaksiring
Ilustrasi Dewa Indra diatas gajahnya yang bernama Airavata |
Selanjutnya akan diceritakan bagaimana peperangan ini berlangsung, segala aspek atau peristiwa yang terjadi didalamnya menjadi cikal bakal penamaan daerah di tempat-tempat tersebut
Perang pertama terjadi di sebelah Utara kerajaan Bedahulu. Pasukan khayangan melakukan perlawanan yang sengit, mereka mengemban tugas suci untuk menumpas kejahatan Mayadenawa. Tak lama kemudian, korban mulai berjatuhan dari kedua belah pihak. Mayat terlihat bertumpukan seperti gunung, tempat inipun dinamai dusun Sawa Gunung. Perang terus berlangsung, melalui arahan dari Bhatara Indra, pasukan Khayangan dengan sekuat tenaga berhasil menghadang pasukan Mayadenawa. Tempat itu pun dinamai Cagahan, berasal dari kata cegah.
Pasukan Mayadenawa mulai terdesak, prajurit yang kewalahan langsung melarikan diri. Begitu juga Mayadenawa yang lari dan bersembunyi di hutan Dapdap, dan tempat itu pun dinamai dusun Dapdap. Dari hutan Dapdap, Mayadenawa kemudian berlari ke hutan kelapa dan menyamar menjadi Busung/daun kelapa muda, sehingga tempat itupun dinamai dusun Blusung. Karena penyamarannya yang selalu gagal, akhirnya Mayadenawa dengan kesaktiannya kemudian menghilangkan diri (maya-maya), tempat itu kini dinamakan dusun Laplapan.
Belum menyerah juga, Mayadenawa kemudian merubah wujud menjadi ayam brumbun/ayam lima warna, dan tempat itu dinamai dusun Mancawarna. Dengan kesaktian Bhatara Indra, penyamaran itu juga berhasil di gagalkan. Segala upaya telah dilakukan Mayadenawa, namun Bhatara Indra selalu berhasil menggagalkannya. Bhatara Indra dan pasukannya terus mengepung Mayadenawa, dan menjelang malam hari pengepungan pun dihentikan.
Munculnya Etimologi "Tampaksiring" dan Terciptanya Mata Air Tirtha Empul
Pada malam hari peperangan dihentikan dan seluruh pasukan beristirahat (anguling), tempat ini kemudian dinamai Pura Gulingan. Di tengah gelapnya malam, Mayadenawa melakukan aksi licik. Dengan kesaktiannya, diam-diam ia menciptakan sumber air beracun di dekat peristirahatan pasukan Khayangan. Kemudian, agar tidak ketahuan dan meninggalkan jejak, Mayadenawa berjalan mengendap sambil memiringkan telapak kakinya, karena peristiwa inilah tempat ini kemudian dinamakan Tampaksiring. Kata "Tampak" berarti telapak/bekas pijakan kaki, dan kata "Siring" berarti miring/terlihat sebagian
Rencana licik Mayadenawa ternyata membuahkan hasil. Pasukan Khayangan yang sedang beristirahat mencari mata air di sekitar tempat itu untuk diminum. Mereka lalu menemukan mata air yang jernih, kemudian tanpa rasa curiga mereka langsung meminum air itu beramai-ramai. Beberapa saat kemudian, pasukan Khayangan yang meminum air tersebut langsung jatuh sakit dan mengalami keracunan.
Bhatara Indra terkejut melihat banyak pasukannya yang sekarat, ia sangat sedih dan memutuskan untuk pergi menenangkan diri. Setelah berjalan menyusuri hutan, sampailah ia di suatu tempat yang tenang dan penuh dengan pepohonan. Tempat itu dipenuhi oleh pohon Cemara, karena itu, tempat ini kemudian dinamai Pura Cemara.
Disinilah kemudian Bhatara Indra bersemedi, melalui semedinya, ia mendapatkan wangsit untuk membuat mata air suci sebagai penawar racun. Bhatara Indra yang telah menyadari kelakukan licik Mayadenawa kemudian segera menciptakan penawar racun. Dengan kesaktiannya, ia lalu menancapkan senjata berbentuk umbul-umbul dan munculah mata air suci dari dalam tanah. Air suci tersebut kemudian diberikan kepada pasukan Khayangan yang mengalami keracunan, setelah meminum air tersebut merekapun kembali pulih seperti sedia kala. Mata air suci yang diciptakan oleh Bhatara Indra untuk memulihkan pasukan Khayangan itu dinamai "Tirtha Empul".
Tirtha Empul berasal dari kata "Tirtha" yang berarti air, dan "Empul" yang berarti keluar/ciptaan kekuatan bathin. Tirtha Empul masih ada hingga kini, mata air tersebut juga membentuk sebuah sungai bernama Sungai Pakerisan/Tukad Pakerisan. Sungai Pakerisan terletak di Gianyar, dan airnya mengalir dari perbukitan Kintamani.
Peperangan Kembali Dilanjutkan
Para pasukan yang mengalami keracunan berangsur-angsur mulai sembuh. Setelah kondisi sudah membaik, Bhatara Indra kemudian melakukan perundingan dengan pasukannya. Perundingan tersebut dilakukan di sebuah tempat yang kini bernama Pura Semut, terletak di desa Manik Tawang. Dalam perundingan itu, disepakati bahwa selama penyerangan, pasukan akan dibagi menjadi kelompok-kelompok. Tempat inipun dinamai Pura Belahan.
Ilustrasi Bhatara Indra dari Wikipedia |
Setelah perundingan selesai, Bhatara Indra dan pasukannya langsung melanjutkan pengejaran Mayadenawa. Dengan kesaktiannya, Bhatara Indra berhasil menemukan daerah persembunyian Mayadenawa. Setelah itu Bhatara Indra segera memerintahkan pasukannya untuk melakukan pengepungan. Pasukan khayangan langsung menuju daerah itu secara berkelompok, setelah sampai mereka kemudian mengepungnya dari segala arah. Daerah itu kini telah dikelilingi oleh pasukan khayangan, pergerakan Mayadenawa pun berhasil dibatasi. Tempat ini kemudian dinamai dusun Bantas.
Setelah berhasil mengurung Mayadenawa dari segala arah, Bhatara Indra berserta panglimanya kemudian bersiap akan mengakhiri perang tersebut. Namun sebelum Bhatara Indra melancarkan serangannya, Mayadenawa tiba-tiba menghilang. Seluruh pasukan kebingungan. Dari kejauhan terlihalah buah labu besar, buah labu itu tampak mencurigakan, karena sebelumnya buah itu tidak ada disana. Karena terlihat mencurigakan, para pasukan pun mendekat dan memeriksanya. Ternyata memang benar, Mayadenawa bersembunyi di dalam buah labu besar itu. Tempat itu kini dinamai teluk Tabu.
Mayadenawa kemudian kembali berlari, dan peperangan pun terus berlanjut. Kemanapun Mayadenawa kabur, pasukan Khayangan dengan berkelompok terus melakukan pengepungan, daerah itupun dinamai tegal Pengejaran. Setelah itu Mayadenawa lagi-lagi menghilang, kini ia berubah wujud menjadi ayam besar/manuk raya. "Manuk" berarti ayam dan "Raya" berarti besar, tempat itu kini dinamai desa Manukaya yang terletak di kecamatan Tampaksiring.
Perubahan wujud itu kembali diketahui oleh Bhatara Indra, Mayadenawa pun berlari dan terus berusaha bersembunyi. Karena sudah kewalahan dan tak sanggup lagi bertarung, akhirnya Mayadenawa bersembunyi di balik batu. Bhatara Indra tak ingin Mayadenawa meloloskan diri lagi, maka dari itu iapun menyiapkan panahnya dan langsung memanah batu tersebut Batu tersebut hancur dan Mayadenawa terpental hingga terpeleset, kini daerah itu dinamai desa Sebatu. Nama desa Sebatu diambil dari kata "Sauh" yang berarti terpeleset dan "batu" yang berarti batu.
Perlawanan Mayadenawa dan Terbunuhnya Patih Kala Wong
Mayadenawa ternyata masih sanggup berdiri dan kabur ke suatu tempat. Di tempat itu berubahlah ia menjadi Bidadari yang sangat cantik, dan kini tempat itu dinamai dusun Kendran. Ternyata para pasukan Khayangan tidak tertipu dan langsung mengepung Mayadenawa. Mayadenawapun kembali kabur, namun akhirnya terkepung oleh pasukan Khayangan. Meskipun terkepung Mayadenawa masih bisa melakukan perlawanan, dengan kekuatannya dan dibantu pula oleh patih Kala Wong, ia melancarkan serangan-serangan yang dahsyat. Pertahanan pasukan Khayanganpun sedikit goyah.
Melihat pasukannya mulai goyah, salah satu patih Bhatara Indra langsung memberikan penyerangan kepada Mayadenawa. Dengan keahlian memanahnya, iapun membidikan busur panah itu ke arah Mayadenawa. Namun sebelum melepaskan anak panahnya, Mayadenawa dengan cepat berhasil menghilangkan kekuatan patih itu dengan mematahkan tangannya. Maka dari itu, daerah tersebut dinamai dusun Saraseda. Nama dusun Saraseda berasal dari kata "Sara" yang berarti kekuatan dan "Seda" yang berarti mati.
Namun sial bagi sang patih Kala Wong, dalam penyerangan di dusun Saraseda itu ia terbunuh oleh pasukan Khayangan.
Terbunuhnya Mayadenawa
Patih Kala Wong sudah gugur, Mayadenawa dengan kekuatannya yang dahsyat masih melakukan perlawanan terhadap pasukan Khayangan. Karena berhari-hari telah bertarung dan melarikan diri, akhirnya Mayadenawa mulai kewalahan. Iapun dengan sisa kekuatannya kemudian menjauh dan berlari menyelamatkan diri. Akhirnya sampailah ia di suatu tebing dan tak dapat, melarikan diri lagi. Kesempatan itu kemudian digunakan oleh Bhatara Indra untuk mengakhiri perang yang panjang ini.
Bhatara Indra kemudian mengeluarkan senajata Badjra, diiringi suara petir yang bergemuruh Bhatara Indra kemudian melancarkan serangan pamungkasnya. Mayadenawa pun akhirnya terbunuh. Daerah tempat terbunuhnya Mayadenawa kini dinamai Tanah Pegat.
Ilustrasi Dewa Indra dan Senjata Sucinya dari Vimanika Art |
Darah Mayadenawa kemudian mengalir ke sungai Petanu, menyebabkan air sungai itu berwarna merah. Menjelang kematiannya, Mayadenawa memberi kutukan pada sungai itu. Bila air sungai itu digunakan untuk mengairi sawah, maka tanaman akan cepat tumbuh, namun tanaman itu akan mengeluarkan darah dan mengeluarkan bau busuk.
Jasad Mayadenawa, raja dari kerajaan Balingkang yang melegenda itu kemudian dikebumikan di suatu dusun bernama dusun Taulan.
Tukad Petanu/Sungai Petanu dari Tribunnews.com |
Penutup
Baiklah teman-teman, itulah kisah legendaris Mayadenawa dan etimologi nama-nama daerah di Tampaksiring. Semoga informasi yang ada dalam postingan ini bermanfaat dan menambah wawasan anda. Namanya juga legenda, tentu memiliki amanat-amanat yang patut kita resapi.
Janganlah menjadi orang yang angkuh ya teman-teman, kita tidak boleh bersifat otoriter dan menyusahkan orang-orang di sekitar kita. Bila kita memiliki kelebihan, alangkah baiknya menggunakan kelebihan itu untuk saling membantu dalam kebaikan.
Sampai jumpa lagi di postingan lainnya.
Sumber :
Agus Kapriana, I Wayan. 2014. Kisah Tentang Raja Mayadenawa di http://belusungbersatu.blogspot.com/ (akses pada 27 November 2020)
Kisah Prabu Mayadenawa di https://www.savetukadpetanu.org/ (akses pada 27 Novemver 2020)
Cerita Rakyat Mayadenawa di https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ (akses pada 27 November 2020)
Comments
Post a Comment
Mari bersama-sama membangun blog ini menjadi lebih baik lagi dengan meninggalkan jejak berupa komentar.